
Bandung, 18 September 2025 – Dalam rangkaian acara Indonesia Employee Wellbeing Summit 2025 bertema “Strategies to Improve Employee Performance through Wellbeing Programs,” Dr. Wustari L. Mangundjaya, M.Org.Psy., S.E., Psikolog, Dekan Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya, menjadi salah satu pembicara utama dalam sesi keempat yang berlangsung di Bandung. Pada kesempatan tersebut, beliau membawakan materi bertajuk “Employee Burnout: Why and How to Help Overcome It.”
Acara yang diselenggarakan oleh PT Intipesan Pariwara ini mempertemukan para profesional, praktisi HR, dan akademisi untuk membahas isu-isu strategis terkait kesejahteraan karyawan (employee wellbeing) dan performa kerja di era modern. Dalam sesi berdurasi 90 menit tersebut, Dr. Wustari membahas secara komprehensif fenomena burnout atau kelelahan kerja, mulai dari gejala awal, penyebab, hingga strategi intervensi yang dapat diterapkan baik oleh individu maupun organisasi.
Menurut Dr. Wustari, burnout merupakan respons terhadap stres kerja berkepanjangan yang berdampak negatif pada fisik, emosional, dan mental seseorang. Ia menjelaskan bahwa burnout dapat ditandai oleh tiga gejala utama: kelelahan fisik, kelelahan emosional, dan kelelahan sikap atau mental. “Karyawan yang mengalami burnout biasanya kehilangan energi, merasa terperangkap dalam pekerjaannya, hingga menunjukkan sikap sinis dan penurunan motivasi,” ujarnya mengutip teori Maslach & Leiter (2008) serta Baron & Greenberg (1990).
Dalam paparannya, Dr. Wustari juga menguraikan berbagai penyebab burnout, seperti beban kerja berlebihan, kurangnya kontrol terhadap pekerjaan, lingkungan kerja yang penuh tekanan, ketidakseimbangan antara pekerjaan dan kehidupan pribadi, serta minimnya dukungan sosial. “Ketika faktor-faktor ini tidak dikelola dengan baik, produktivitas menurun, absensi meningkat, dan bahkan muncul gangguan kesehatan fisik maupun mental,” tambahnya.
Untuk mengatasi hal tersebut, Dr. Wustari menekankan pentingnya pendekatan berbasis job redesign atau perancangan ulang pekerjaan. Melalui konsep ini, organisasi dapat menata kembali struktur, tugas, dan tanggung jawab pekerjaan agar lebih sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan karyawan. Ia juga memperkenalkan teori Job Crafting dari Wrzesniewski dan Dutton (2001) serta Job Demands–Resources (JD-R) Model, yang menjelaskan bagaimana karyawan dapat menyesuaikan pekerjaannya secara proaktif untuk mencapai keseimbangan antara tuntutan dan sumber daya kerja.
Selain itu, Dr. Wustari menyoroti pentingnya autonomy at work (otonomi kerja) dalam mencegah burnout. Ia menjelaskan bahwa memberikan ruang bagi karyawan untuk mengambil keputusan, mengatur metode kerja, serta mengatur jadwal sendiri dapat meningkatkan rasa kontrol dan tanggung jawab individu terhadap pekerjaannya. “Otonomi bukan hanya memberi kebebasan, tetapi juga membangun kepercayaan dan motivasi intrinsik yang memperkuat keterlibatan karyawan,” tuturnya, mengutip penelitian Hackman & Oldham (1975).
Dalam sesi penutup, Dr. Wustari memaparkan beberapa strategi pemulihan bagi karyawan yang mengalami burnout, antara lain dengan membangun budaya kerja yang suportif, meningkatkan komunikasi positif antar tim, memberikan fleksibilitas kerja, serta melakukan intervensi berbasis coaching, mentoring, dan konseling. Ia juga menekankan bahwa baik perusahaan maupun individu memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan antara tuntutan kerja dan kesejahteraan pribadi.
Sesi yang dihadiri oleh peserta dari berbagai lembaga dan industri ini berlangsung interaktif. Para peserta antusias berdiskusi mengenai penerapan strategi pencegahan burnout di tempat kerja, terutama dalam konteks pasca-pandemi dan perubahan pola kerja hybrid.
Melalui paparannya, Dr. Wustari menegaskan bahwa keberhasilan organisasi tidak hanya ditentukan oleh sistem kerja yang efisien, tetapi juga oleh kesehatan psikologis dan kesejahteraan karyawan. “Ketika organisasi peduli pada wellbeing, mereka sebenarnya sedang berinvestasi pada keberlanjutan performa jangka panjang,” pungkasnya.
Kehadiran Dr. Wustari dalam acara ini menjadi bentuk nyata kontribusi akademisi Indonesia dalam mendorong penerapan kebijakan dan program employee wellbeing yang lebih humanistik dan berkelanjutan, sejalan dengan misi Fakultas Psikologi Universitas Bhayangkara Jakarta Raya untuk terus berperan aktif dalam pengembangan psikologi terapan di dunia kerja.
